Safira Eadrom
Batu Safir Yang Berkilau
Oleh ResdaCintami Laksana*
Azan subuh yang menggema telah membangunkan seorang wanita muda yang hampir mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Paras cantik, anggun, cerdas, arif, berbakat dan seorang muslimah yang luar biasa dibidangnya.
“Safira, hari ini kamu masih bekerja?”
“iya tante, hari ini sedang ada rapat di kantor untuk menyusun program baru bagi para nasabah”. Ucap Safira yang tengah bercermin merapikan kerudung birunya.
“Fira, hari ini Bunda dan Ayah akan pulang dari Kanada untuk mempersiapkan pernikahanmu”
“tenang saja tante Elin sayang, keponakan tante yang cantik ini akan pulang lebih awal”. “Baiklah kalau memang seperti itu keponakan tante yang cantik, hati-hati di jalan ya”.
“Assalamualaikum, Fira berangkat dulu tante, da..tante”.
Safira berangkat menuju sebuah bank syariah tempat ia bekerja. Setibanya disana Fira menerima sebuah pesan dari Fikri di telepon genggamnya yang mengatakan bahwa hari ini Fira akan menemui ibunda Fikri yang tak lain adalah calon mertua Fira. Karena terburu-buru menuju ruang rapat, Safira langsung membalas pesan tersebut dan mengatakan bahwa ia akan tiba di rumah Fikri pukul 7 malam.
Pukul 13.50 Safira langsung menuju Bandara untuk menjemput orang tuanya yang telah kembali ke tanah air. Setelah bertemu dengan kedua orangtuanya Safira langsung mencium kedua tangan mereka dan memeluk mereka untuk melepas rasa rindu.
“Bunda, Ayah, Fira kangen..nian samo Bunda samo Ayah”.
Fira memeluk Ayah dengan sangat erat.
“iya sayang, tenanglah ayah dan bunda ada disini”.
“sombong nian Ayah samo Bunda ni, mentang-mentang lamo di Kanada dak galak nian ngomong baso Plembang lagi, jangan-jangan la lupo”.
“Hahaha.. idak nak, kami masih inget. Kalo Bunda dak mungkin lupo, tapi kalo Ayah bunda dak tau”. Bunda mencoba menyindir Ayah.
“Payo kalo mak itu, apo kabar tante Elin sayang?”
Mereka asik mengobrol sepanjang jalan menuju rumah tante Elin dan Fira.
Setelah melaksanakan shalat maghrib berjamaah, Bunda Fira menelpon keluarga Fikri untuk memohon maaf atas ketidakhadiran Fira pada malam itu, dan acara pertemuan Fira dengan Ibunda Fikri akan dilakukan keesokan harinya. Selain itu, Fira juga akan didampingi oleh orangtuanya untuk bersilaturahmi dengan keluarga Fikri.
Keesokan harinya kedua keluarga tersebut telah bertemu untuk mempersiapkan pernikahan Fira dan Fikri.
“Bu Syifa, pada kesempatan ini Fira akan menceritakan keadaan keluarganya yang sebenarnya, hal ini sangat penting untuk keluarga besar ibu Syifa dan tentunya untuk Fikri”. Tutur Bunda Fira dengan tatapan cemas menatap kedua mata Fira yang teduh. Fikri hanya tertunduk dengan sorot mata yang seolah mengatakan bahwa ia tau apa yang akan diceritakan Fira.
“maksud ibu? keadaan seperti apa?” Bu Syifa terkejut atas ucapan Bunda Fira.
“Ceritakanlah sayang”
Ayah Fira tersenyum menatap putrinya yang terlihat anggun dalam balutan busana muslimah hijau pupus bermotif daun mapel yang kekuningan.
“Fira langsung saja kalau begitu, sebenarnya Fira bukanlah anak kandung dari Ayah dan Bunda Fira yang saat ini sedang ada dihadapan Bu Syifa dan Fikri. Mereka adalah orang-orang yang sangat baik hati dan dengan sangat ikhlas merawat dan membesarkan Fira sampai saat ini”.
Fira tersenyum bangga kepada orang tua angkatnya. Bu Syifa menatap Fira dengan heran, seakan tidak percaya akan cerita Fira.
“Tante Arelina yang selama ini tinggal bersama Fira adalah adik dari ibu kandung Fira. Dari tante Elin lah Fira tau bagaimana keadaan keluarga Fira yang sebenarnya. Fira adalah anak hasil hubungan di luar nikah. Saat itu ibu Fira masih berstatus sebagai pelajar dan akhirnya harus berhenti sekolah karena hal itu. Keluarga Fira berencana ingin segera menikahkan mereka sebelum perut ibu membesar. Akan tetapi, sejak awal nenek tidak merestui hubungan Ayah dan Ibu Fira karena berbeda keyakinan dan etnis. Ayah Fira adalah penganut agama Kong Hu Chu dan keturunan Korea. Maka, pernikahan tersebut dibatalkan. Namun akhirnya mereka tetap menikah meski tanpa restu dari orang tua mereka. Rumah tangga mereka sangat buruk sejak awal karena faktor ekonomi. Sampai akhirnya Fira lahir dan Ayah pergi meninggalkan kami berdua karena tidak sanggup membiayai kehidupan kami. Tidak hanya itu, ternyata Ayah kembali bercinta dengan perempuan lain di luar sana. Dia sangat tega meninggalkan Fira dan Ibu yang saat itu sedang sakit parah”.
Fira menghentikan ceritanya sejenak dan meneguk secangkir teh hijau yang disediakan keluarga Fikri untuk menenangkan dirinya yang tengah menceritakan kembali lembaran hitam dalam hidupnya.
“Baiklah, Fira lanjutkan. Saat Fira berusia kurang lebih sekitar tiga tahun, ibu meninggal dunia. Lalu, Fira diserahkan kepada nenek agar ada yang bisa merawat Fira . Namun, nenek menolak karena sejak awal sudah menganggap bahwa ibu Fira bukan anaknya lagi dan tentu saja Fira tidak diakui sebagai cucunya. Nenek hanya menganggap Fira sebagai anak hasil hubungan gelap yang ditinggal mati oleh ibunya dan Ayah yang tidak bertanggung jawab”.
Fira kembali berhenti bercerita karena melihat Bu Syifa yang telah berlinang air mata. Fikri menggenggam tangan ibunya dan mencoba untuk menenangkannya meskipun Fikri sendiri tampak gugup mendengar cerita Fira dengan mata yang berkaca-kaca. Dari kejadian ini tampak bahwa Fikri adalah seorang lelaki yang halus perasaannya.
“Lalu, bagaimana kau bisa bertemu dengan kedua orang tua angkatmu ini nak?”
“saat itu tante Elin hampir menyelesaikan kuliahnya dan mengontrak di sebuah rumah yang tidak jauh dari sebuah panti asuhan. Selama 2 tahun tante Elin merawat Fira seperti anaknya sendiri. Tante Elin membiayai hidup kami dari hasil bekerja sebagai penjaga toko buku di kampusnya. Saat Fira berusia 5 tahun, Fira diadopsi oleh orang tua angkat Fira ini dan pindah ke kota Palembang sampai saat ini. Semua identitas Fira diubah sejak diadopsi. Setelah menyelesaikan kuliahnya tante Elin menyusul keluarga Fira ke Palembang dan membuka bisnis souvenir. Saat ini yang Fira punya hanya orang tua angkat Fira ini dan tante Elin”.
Fira mengakhiri ceritanya dengan senyum manisnya yang khas. Senyum Fira seolah berkata bahwa dirinya sangat tegar dan menerima dengan ikhlas segala sesuatunya.
Bu Syifa mengelus dadanya dan menarik nafas yang dalam setelah mendengar cerita Fira.
Fikri pun tersenyum kepada Fira. Di tengah suasana haru tersebut tampak seorang lelaki paruh baya dari ras mongoloid, berambut hitam pekat dengan beberapa rambut putih diantara rambut hitamya. Dari sorot matanya terlihat bahwa lelaki paruh baya itu cukup ramah. Lelaki itu membawa sebuah bungkusan dan mengetuk pintu rumah keluarga Fikri.
“permisi Bu Syifa, maaf jika kedatangan saya mengganggu, ini ada makanan”.
“wah, ini dimsum kesukaan saya”.
Fikri tersenyum dan berjalan mendekati tetangganya itu.
“iya Fik, tadi tante Aling bilang dimsum ini spesial untuk kamu”.
“gamsahamnida ajosi buat bakpao dan dimsumnya”. Seru Fikri yang bergaya berbahasa Korea di depan Fira agar menarik perhatian Fira. Tapi Fira tidak memberi respon.
“sampaikan salamku untuk Aling, terima kasih ya”. Sahut Bu Syifa dari sofa beludru miliknya tempat ia duduk bersama keluarga Fira.
Lelaki itu adalah tetangga Fikri yang cukup dekat dengan keluarganya dan selalu membantu Bu Syifa jika Fikri sedang pergi keluar kota. Sejak kepergian Ayah Fikri empat tahun lalu, Bu Syifa tinggal seorang diri di rumahnya jika Fikri sedang pergi keluar kota.
Di kamar tante Elin, Fira terlibat perbincangan serius.
“tante, sebentar lagi Fira akan menikah dengan Fikri, dan Ayah Fira entah dimana. Rasanya Fira ingin sekali menemuinya untuk memohon doa Restunya”. Tutur Fira kepada tantenya sambil memperhatikan seorang gadis kecil yang sedang bermain dan terlarut dalam canda tawa bersama Ayahnya dari jendela kamar tante Elin.
“kau adalah seorang muslimah yang paham akan islam. Tentunya kau tau apa yang harus kau lakukan”. Tante Elin berjalan mendekati Fira dan memandang keluar jendela. Tante Elin menghela nafas dan melanjutkan perkataannya.
“Dia memiliki nama korea Dong Hyu Daen. Dia itu tak lebih dari seorang yang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Hari ini tante ingatkan kau kembali, Ibu kandungmu, kakak perempuan tante telah dinodai lelaki itu sejak remaja. Mulutnya berkata begitu manis, seakan siap menerima segala resikonya. Tapi pada kenyataannya, dia meninggalkanmu seperti sampah !”. tante Elin meninggikan suaranya dan berlinang air mata. Fira tertunduk terdiam menahan tangis.
“itulah kenyataannya sayang, dia hampir membuatmu hidup seorang diri di dunia ini. Entahlah, kau perlu restunya atau tidak. Tak perlulah kau pusingkan dia, dia juga tidak akan peduli kita. Mungkin saja dia sudah mati saat ini”.
Terdengar azan ashar dari kejauhan.
“segera berwudhu dan tenangkan dirimu”.
Tante Elin tersenyum hambar dan pergi meninggalkan Fira.
Pagi-pagi sekali, Fira terbangun dan terdengar suara tante Elin, Ayah dan Bunda Fira yang tengah berbincang sambil bersenda gerau. Fira segera menuju dapur tempat para anggota keluarga berkumpul.
“selamat pagi permaisuri ku”.
Ucap Fikri sambil membawa sepiring pancake madu saus alpukat dan segelas susu vanila. Fikri tersenyum dan bersikap layaknya seorang pelayan istana yang membawakan hidangan istimewa bagi Ratunya. Ternyata sejak tadi Fikri telah terlibat perbincangan seru dengan para anggota keluarga.
“ tuan putri, ini adalah masakan spesial untuk sarapan dari dua orang chef kami yang didatangkan langsung dari Kanada. Tidak hanya itu, ruang makan ini ditata dengan sentuhan khas kota Palembang oleh Nona Arelina. Dan yang terakhir, saya sendiri adalah Fikri Alfaridzi seorang pelayan pribadi tuan putri Safira yang menyajikan makanan ini dengan penuh cinta hanya untuk putri Safira yang cantik jelita ini”. Semua anggota keluarga tertawa melihat tingkah Fikri yang mencoba merayu Fira.
“ hmm..pancake madu saus alpukat, dan susu vanilla pasti ini masakan bunda”.
Fira mencicipi sarapannya dari nampan yang dipegang oleh Fikri. Fira bertingkah layaknya gadis kecil berusia Sembilan tahun dan memeluk bundanya.
“oh indahnya dunia jika setiap hari seperti ini, setiap pagi Fira makan pancake masakan bunda, dibikinin susu sama tante Elin, terus bisa merawat tanaman bareng Ayah”.
“hmm..maunya”. Sahut tante Elin kepada Fira.
“ah tante, kapan lagi coba kayak gini hehehe”.
“ehem..ehem halo, apa kabar pelayan istana tuan putri?”
“iya, iya sayang, jangan langsung ngambek gitu dong”.
“ayo, Fira cepat habiskan sarapannya, hari ini Fikri mau mengajak kamu ke rumahnya, bukan begitu Fikri?”.
Sahut Ayah Fira sambil menikmati secangkir kopi luwaknya.
“iya Fira, hari ini ibu mau mengundang makan siang di rumah”.
Setelah makan Fira pergi bersama Fikri. Namun saat di perjalanan telepon Fikri berbunyi.
“Halo bu, ada apa?”. Fikri mengangkat telepon dari ibunya.
“iya bu, Fikri sedang dalam perjalanan bersama Fira sebentar lagi Fikri sampai di rumah”.
“kenapa ibu telepon?” Tanya Fira.
“ibu bilang ada tetangga yang mendapat musibah”
Setiba mereka di rumah Fikri, ibu Fikri segera memberitahu mereka. Ternyata tetangga mereka meninggal dunia dan mereka segera menuju rumah duka. “kalau Fira tidak salah, beliau adalah orang yang kemarin memberi bakpao dan dimsum saat aku sedang ada di rumah kan?” Fira berbisik kepada Fikri.
“iya Fir, ini adalah suami tante Aling. Itu tante Aling, tampaknya ia sangat terpukul atas kepergian suaminya. Mereka berdua ini baik Fir sama keluarga aku, mereka selalu membantu Ibu”.
“semoga amal ibadahnya di terima Tuhan”. Ucap Fira mendoakan almarhum.
Mereka berada di sana sampai jenazah suami Aling dimakamkan. Suasana pemakaman begitu kental dengan budaya tionghoa dan aroma hio bertebaran dari tungku-tungku kecil tempat keluarga Aling berdoa. Saat di pemakaman barulah Fira mengetahui siapa sebenarnya suami Aling. Tertulis jelas di batu nisan sebuah nama yang membuat Fira lemah tak kuasa menahan emosi yang berkecamuk hebat dalam dirinya. Hari itu selasa 22 Oktober 2002 Safira Eadrom terduduk lemas di samping makam, dan ikut terlarut dalam kesedihan yang luar biasa. Tertulis jelas di batu nisan. Nama itu adalah Dong Hyu Daen.
*Penulis adalah siswi kelas X.1 di SMA Plus Negeri 2 Banyuasin III.